Hari itu dia cantik sekali, harum, dan terlihat lebih menggemaskan dari biasanya.
11 hari lagi dia genap berusia 9 bulan di dunia, tetapi tak satupun yang menyangka kalau umurnya hanya bersisa 3 hari.
Namanya Nur Alifiah Az zahra, selalu kupanggil Cipia, atau Acipia.
Dia ceria, cantik, suka makan biskuit, ramah pada siapapun yang menggendongnya, ceria, cantik, bahagia tiap mandi, ceria, suka menggigit apapun, sangat cantik, dan benda yang paling dia incar seumur hidupnya adalah blackberry ku (yang tentu saja tidak pernah sukses dikunyahnya)
Kehadirannya di dunia adalah kabar gembira untuk keluarga ini, dia cucu sepertama-tamanya, dia anak dari kakakku, dia ponakanku yang masih sangat lucu-lucunya, yang pertama dan masih satu-satunya. Namun telah pergi selama-lamanya.
Sore itu saya pulang ke rumah dari silaturahmi Idul Adha. Kudapati Alifiah terbaring lemah tidak seceria biasanya.
Seharusnya dia menjerit histeris minta digendong ketika melihatku datang (beserta blackberry), tapi saat itu, tidak. Badannya panas.
Sebelum-sebelumnya dia sering panas, tetapi tak lama langsung sembuh.
Waktu bayi saya juga pernah panas. Nenek saya pun pernah sakit panas. jadi Tuhan memang telah men-setting akal kami untuk tidak sampai pada pemikiran bahwa badan panas adalah penyebab kematian no.1.
Malam harinya, ibunya Alifiah membawanya berobat ke dokter anak terkenal di kota ini.
Dokter itu pemarah sekali, dan seolah hidup untuk menggonggong.
Alifiah baru sakit tadi sore, dokter itu malah bilang, "kenapa baru dibawa sekarang ? Kenapa tidak sekalian tahun depan??"
Dokter, keluarga kami memang berasal dari kalangan sederhana. Orang biasa. Bukan puang, bukan daeng, bukan pejabat, dan bukan tokoh masyarakat. Tapi kami bukan rendahan yang mengerti bahasa anjing. You understand dok?
Juga temannya kakak ada yang bawa anaknya berobat disana, anaknya dipakein bando yang cantik. Dokter itu malah semprot, "ini anakmu mau kamu jadikan biduan ya?"
Saya tidak habis fikir, saya tidak sampai akal menyebutnya dokter. Saya justru berfikir bahwa manusia itu telah terkutuk sehingga pamali untuk berobat disana.
Saya melupakan nama wanita tua itu dan tidak pernah berharap untuk melihat wajahnya.
Setelah "dicaci maki", Alifiah pun pulang membawa obat penurun panas dan beberapa jenis obat lainnya.
Agak sesak membayangkan jika bayi sekecil ini saja sudah harus meminum bermacam-macam obat sebanyak itu :(
Persyaitan dengan obat pamali itu, dua hari panasnya tidak turun.
Tanpa pikir panjang Alifiah segera dimobilkan ke Rumah Sakit satu-satunya di kota ini.
Alifiah masih stabil, masih bisa makan, duduk, dan masih sanggup menangis sekencang-kencangnya selaku bayi. Hanya panas badannya yang lumayan tinggi.
Saat itu saya belum ikut kerumah sakit, saya beres-beres rumah dulu sebelum menyusul ba'da magrib. Saya memandangi foto Alifiah yang tersenyum ceria sambil mencari-cari keyakinan bahwa senyuman mungil itu akan kembali setelah ini.
Saya melipat rapi semua pakaian kecil Alifiah yang berwarna warni. Sesaat saya takut akan bisikan di telingaku yang seolah berbunyi "baju-baju ini tidak akan terpakai lagi"
Sehingga kutepis bisikan itu dengan suara yang tidak begitu keras, "Alifiah akan hidup sampai tua"
Saya tidak tahu apa-apa tentang firasat.
Yang saya tahu, saya hanya ingin mengulangi perkataan itu, tarik nafas dalam-dalam, lalu mengucap "aamiin". Alifiah hanya panas kan ya Allah ?
Tak lama ayahnya Alifiah kembali ke rumah dengan tergesa-gesa. Dia mengumpulkan bantal, selimut, karpet, dan SEMUA perlengkapan Alifiah (PASIEN) untuk dirawat.
Rumah sakit itu mungkin butuh sumbangan dana dari masyarakat sekitar, atau mungkin diperlukan Gerakan 1000 bantal untuk RSUD M***** demi kemanusiaan yang nyata dan beradab.
Sebelum dia melesat ke RS dengan menenteng kantong-kantong plastik besar bak akan pindah rumah, saya bertanya, "bagaimana keadaan Alifiah?"
Iparku bilang dia diinfus, tetapi belum ditengok dokter.
Yah, ini hari sabtu. Dan faktanya, penyelamatan akan nyawa manusia juga salah satunya tersusun atas faktor 'hari'. Benar dokter juga manusia, butuh libur. Sakit dikala dokter bebas dinas memang cobaan yang alangkah luar binasa.
Selepas maghrib papaku kembali ke rumah untuk mengambil barang-barang yang belum sempat dibawa. Kipas angin, obat nyamuk dll. Belum sempat terbesit pertanyaan, "apakah Alifiah sebenarnya dirawat dalam gua terpencil atau bagaimana?" Kuterima sms dari kakak yang berbunyi, "bawa juga sendok makan." Yasalaam, saya pun beres-beres dan siap-siap berangkat ke GUA.
Sesampainya di "rumah sakit", saya dan papa berjalan tergesa-gesa di koridor remang menuju kamar Alifiah dirawat.
Kulihat anjing berkeliaran bebas dalam area yang seharusnya steril, kulihat kucing dimana-mana, tidak sedikit keluarga pasien berbaring berjejer bak ikan asin yang sedang dijemur di emperan depan ruang rawat yang saya yakini juga merupakan tempat melintasnya kucing dan anjing-anjing liar itu.
Saya berjalan lebih cepat, berharap rok ku yang panjang tidak menyentuh satu senti pun lantai najis itu.
Saya tiba di kamar Alifiah, disana ada mama, kakak, ipar dan bidadari mungil yang tengah dirindukan oleh bidadari-bidadari di Surga, disayangi Allah SWT, Para Malaikat, dan semua manusia yang mengenalnya.
Kudekati Alifiah, kulihat dia dengan tatapan yang benar-benar sedih.
Mata Alifiah hanya memandang menyedihkan ke satu arah, kukibas-kibaskan tanganku di depan matanya yang tak kunjung berkedip membuatku seakan ingin mengibaskan apapun untuk menandakan dia baik-baik saja.
Dikala saya berfikir positif dan optimis, ada ketakutan yang menari-nari diatas kepalaku. Sebuah pertanyaan "kapan Alifiah terakhir melihatku?" Kenapa jadi seperti ini?
Wajahku pucat entah itu pengaruh memaksa optimis atau kenapa.
Alifiah terbaring, tak banyak gerak seperti hari-harinya selama ini. Kupegangi tangannya yang tertikam jarum infus dengan selang yang kejam. Sesekali dia bersuara ingin menangis, nafasnya berat. Saya menelan sedih dan memilih berdoa.
Tiba-tiba saya terbangun. Kudengar suara jeritan ibunya Alifiah, dia menangis berusaha membangunkan anaknya yang tiba-tiba kejang-kejang, pucat dan dingin.
Saya harap ini mimpi, tapi yah jeritan itu nyata, tadi saya sengaja tidur sejenak agar kuat menjaga Alifiah dini hari nanti sampai pagi.
Sekitar pukul 21.00 ruangan kamar VIP itu pecah dengan tangisan. Ayah Alifiah dan perawat melarikan Alifiah ke ruang perawatan anak.
Saya masih terpaku melihat kakak dan mama menangis. Alifiahku ya Allah.
Sesaat kemudian seseorang datang mengatakan kabar yang membuat kami kembali bernafas. "Alifiah baik-baik saja"
Tanpa sendal dan jilbab, Kami segera menyusul ke ruangan Alifiah ditangani. Saking paniknya menangispun saya tidak mampu saat itu.
Alifiah berhenti kejang-kejang karena disuntik obat oleh perawat, badannya mulai berwarna hangat kembali, mulutnya kekeringan tetapi sudah tidak mampu disusui ibunya. Alifiah hanya bergantung pada infus.
Perawat tidak henti-hentinya mengompres dahi Alifiah dengan air es batu.
Malam itu kulihat Alifiah menjadi lebih lemah dari sebelumnnya,
Namun pemandangan yang membuatku muak akhirnya melepaskan air mataku yang tertahan sedari tadi.
Ketiga perawat itu bercengkerama, berlucu-lucu ria, ketawa ketiwi seolah mereka sedang dalam keadaan yang mengesankan untuk ditepuk tangani.
Apa kalian kira kalian terlihat keren dengan seragam putih-putih itu ?
Ditambah gigi-gigi kalian yang jelek mengapa tega-teganya kalian tertawa di hadapan anak kami yang tengah sekarat ini ?
Sampai sekarang, hal itu masih membayang jelas dan membuatku enggan melihat perawat berpakaian putih, beserta gigi-giginya yang gelap meNERAKA.
Diruangan kecil itu, kami menangis di sisi ranjang Alifiah, dan disisi satunya perawat-perawat itu sibuk bergosip dan bercanda tawa.
Saya tahu betul saya tidak boleh marah saat itu, demi Engkau Ya Allah saat itu Alifiah butuh tangan dokter. Bayangkan waktu yang terbuang hanya dengan diinfus dan dikompres,
Jika tempat itu memang sebuah Rumah Sakit YANG LAYAK, seharusnya sudah ada daya upaya mereka untuk mencari tahu apa sebenarnya penyakit Alifiah. Atau mungkin berupa perintah rujukan ke RS yang mereka anggap mampu menanganinya.
Pihak rumah sakit seolah tidur untuk sebuah nyawa yang sangat berharga, dan hanya mengirimkan kami 4 Manusia Gigi yang...
"Sudah berapa hari jadi perawat ??"
Saya tidak bermaksud menganggap remeh mereka, tetapi saya melihat dan mengalaminya sendiri. Saya bukan orang bodoh yang tidak tahu hal-hal di depan mata saya, saya bukan orang kampungan yang asal berpendapat tetapi tidak tahu masalah. Jadi jika ada yang marah akan tulisan ini, itu urusanmu.
Sesaat kuketahui fakta menakjubkan dari perkataannya kakakku, katanya perawat hanya berhubungan via telepon dengan dokter dan diinstruksikan dikasih obat ini, dikasih obat itu.
HEBAT YAH. Dokter itu BERANI mengobati pasien tanpa dia lihat keadaannya.
Kenapa tidak jadi dukun saja sekalian? Terus bacakan matra dari jauh. Tiup itu telepon!
Inikah pelayanan kesehatan sebuah rumah sakit?
Tanpa berfikir untuk murka, ayah Alifiah memilih pergi ke rumah dokter anak untuk menjemputnya. Masih dokter yang sama saat Alifiah berobat dua hari yang lalu. Tengah malam itu dia mengetuk-ngetuk pintu rumahnya, namun tidak dibukakan.
Malam yang panjang itu, sampai tiga kali dia mendatangi rumah dokter untuk diminta secara KEKELUARGAAN, untuk melihat Alifiah kami, namun pintunya tidak kunjung mau dibukakan.
Kami tertunduk lemas, kami bukan dokter. Anda dokter karena anda sanggup menjadi dokter. Tidak mungkin pula kami menjemput dokter dengan kekerasan, mendobrak pintunya atau apapun agar hati dokter itu mau tergerak. Mungkin dokter itu sedang luluran.
Kami putus asa untuk dokter yang semoga diampuni dosa-dosanya itu. Aamiin.
Pagi yang kelam. Dingin lantai rumah sakit masih mengalas di telapak kaki kami.
Tanpa .. kami .. ketahui.., rumah kerabat terdekat di puncak gunung Salabose nan jauh disana, tengah kedatangan burung-burung gagak, terdengar menyapa dari atap rumah, memberi kabar kematian...
Saya dan keluarga masih berada di sekeliling Alifiah, entah apa yang dia rasakan sekarang, sebelah mana yang sakit sayang? Nanti kalau sembuh tante belikan mainan, janji.
Namun tiba-tiba Tuhan Yang Maha Penyayang kembali menguji jiwa kami, Alifiah memucat, kejang-kejang.
Pemandangan yang terlalu menyakitkan. Kupanggil perawat dengan suara teriakan yang mengagetkan orang mati, perawat-perawat itu belum bangun.
Sampai akhirnya mereka keluar setelah pintu kamarnya nyaris didobrak. Perawat segera melakukan pertolongan serupa dengan yang semalam. Kulihat Alifiah disuntik lagi, kulihat papa, mama, kakak dan ipar panik, mereka menangis, saya menangis.
Sekali lagi! Mungkin jika tempat ini memang sebuah Rumah Sakit, kami sudah akan mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan Alifiah. Cairan dalam suntik itu hanya pertolongan darurat, penyembuh sakit sementara, tidak tertuju pada inti penyakit Alifiah.
Mereka kejam. Belum ada dokter. Mereka santai, seolah Alifiah hanya mainan yang tinggal tunggu batreinya habis.
Tidak ada pemeriksaan, tidak ada pengobatan. Hanya menunggu segala gejala muncul lalu mengatasinya sedikit demi sedikit.
Seolah mereka tahu, ini akan berakhir. Seolah Alifiah hanya bayi, seolah kejadian seperti ini adalah hal biasa di tempat berkedok rumah sakit itu. Memilukan. Tidak ada dokter, tidak ada dokter.
Keluarga yang lain mulai berdatangan, sudut koridor depan ruang perawatan anak itu mulai ramai. Banyak tanya dari sanak keluarga, doa-doa berhamburan ke udara, air mata memenuhi lantai, orang-orang berhenti sejenak menatap iba. Seorang nenek entah siapa duduk di sebelahku. "Sa'bari tau ana'." Kata-katanya masuk akal, tapi sapuan tangannya di pundakku merangsang kelenjar air mataku untuk memproduksi lebih, air mataku akan habis.
Perawat-perawat itu mulai mengatasi gejala yang timbul selanjutnya, saya tidak tahu apa namanya, sejenis selang terhubung ke mesin yang menyedot lendir dari tenggorokan.
Mereka menyedotnya sedikit demi sedikit, seolah jika Alifiah bertahan sampai kiamat, mereka akan menyedotnya pula sampai hari kiamat.
Sekitar pukul 09.00 kurang lebih, seorang wanita berjalan tergesa memasuki ruang pelepasan roh Alifiah. Kudengar wanita itu adalah dokter umum yang sedang piket hari itu.
Dokter! Yah Akhirnya ada makhluk bernama dokter disini. Saya kira mereka cuma mitos. Walaupun bukan dokter anak, paling tidak ini akan menjadi bahan cerita Alifiah kelak di Surga ke teman-temannya : "Cipia sebelum kesini sempat diobati dokter loh, ukhty?" (:
Saya lihat ada pergantian personel penyelamat dalam ruangan itu, keempat perawat semalam akhirnya selesai masa dinasnya. Mereka berjalan pelan ke luar ruangan. Langkah mereka berat, tubuhnya kelelahan, ekspresi wajahnya tersenyum lega, "Akhirnya kami bisa pulang" mereka berjalan pulang melewati kami sambil tersenyum seperti ini (:
Saya sangat pandai membaca pikiran tetapi mereka tidak tahu kalau saya sedang menyesal tidak memakai sendal.
Semoga kelak kalian khusnul khatimah, mati tersenyum. Selebihnya terima kasih.
Perawat-perawat kali ini memakai pakaian biasa. Saya lihat mereka sibuk melanjutkan menyedot lendir Alifiah dengan selang, tetapi lebih sibuk mengelap air mata. Perawat yang ini punya hati.
Alifiah semakin kritis, suara tangisnya hampir tak terdengar lagi. Hanya orang-orang tertabah se-semesta yang sanggup menemaninya dalam ruangan itu. Saya bukan salah satunya. Ibunya menemaninya, itu detik-detik terakhir Alifiah hidup.
Ayah Alifiah sejenis pelawak, dia kadang sanggup membuat orang mati melepaskan tawa. Saya tidak percaya jika membayangkan orang seperti itu bisa menangis seperti itu.
Tak lama sang Dokter Piket mengeluarkan diagnosa yang ...
Alifiah menderita diare (yang sudah sangat parah).
Yaah, memang waktu telah terlalu banyak yang terbuang. Sekarang apa ?
Keluargaku menanyakan apa solusinya, apa obatnya, harus bagaimana ?
Tapi sesuatu dalam kepalaku tahu benar kalau diare adalah Pembunuh Balita no. 1 di Dunia.
Saya ingin pingsan, tapi lupa caranya.
Keluarga memohon untuk merujuk Alifiah ke rumah sakit yang sesungguhnya, tapi dokter kiriman Allah itu tegas mengatakan "50:50"
Hanya Allah tempat kami bergantung,
Kami berdoa, berharap salah satu dari kami ada yang terkabul doanya.
saya melihat ke langit, mengemis dalam hati, meminta nyawa, berharap Allah mengubah takdir yang tidak kami inginkan.
Suasana semakin kelam, entah apa yang kami tunggu, selang itu, masih berjuang memperpanjang umur Alifiah.
Entah apa yang kami tunggu...
Alifiah, bayi 8 bulan. Suka makan biskuit, cantik, ceria...
Ruangan itu bergemuruh. Saya berjalan memasuki ruangan itu, tetapi tak sanggup melihat apapun, MATAKU TERTUTUP AIR MATA.
Ayah Alifiah tak sadarkan diri setelah berusaha membangunkan putri kecilnya.
Ibu Alifiah meminta maaf pada jasad bayinya.
Alifiah tak akan bangun lagi, saya mencari rohnya. Alifiah telah pergi...
Hari ini tanggal 28 Januari 2014, adalah hari ulang tahunnya, bertepatan 100 hari kepergiannya.
Masih jelas dalam ingatan bersama bidadari kecil itu.
masih kerap tak sanggup membendung gumpalan air mata di sudut mata ini setiap Alifiah hadir dalam ingatan, mengetuk-ngetuk kenangan.
Saya tahu, menangisi kematian seseorang tidak baik lama-lama.
Saya ingin mengingatnya dengan senyum. Tempatnya kini adalah tempat terbaik yang pernah ada. Subhanallah.
Jika ada yang perlu kutangisi, itu adalah diriku sendiri, dan dosa-dosaku.
Catatan ini adalah kado ulang tahun untuk ponakanku tersayang, Alifiah.
Kado Ulang Tahun, harapan agar kelak di kota ini dibangun sebuah rumah sakit yang baik.
Kado Ulang Tahun untuk mengenang sang Bidadari Surga ~ Bagaimana mungkin kami merasa kehilanganmu, sementara kami tahu kalau kamu tengah bermain bahagia di alam sana ?
Dari tantemu yang paling cantik (yang lain om dan laki-laki semua) :'
Wassalam.